OTT adalah Epitaf Demokrasi yang Busuk
2025-11-07 07:07:33
SETIAP kali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar Operasi Tangkap Tangan (OTT),Bandung negeri ini kembali tersentak.Seruan moral menggelegar, layar televisi dipenuhi breaking news, media sosial gaduh, dan publik digiring kepada satu kesimpulan getir: demokrasi kita sedang sakit, dan para pemimpin yang dipilih rakyat kembali menodai amanah.Kali ini drama itu terjadi di Riau. Seorang gubernur kembali dibawa ke gedung antikorupsi. Ironi yang begitu repetitif, seakan menjadi litani gelap negeri ini: pemimpin berganti, modus tetap, moral runtuh. Rakyat hanya bisa memeluk kecewa.Kita pernah berharap demokrasi melahirkan keadaban. Ternyata yang tumbuh justru kerakusan.Setiap rompian oranye yang dipakaikan kepada pejabat publik bukan sekadar penanda kejahatan personal, tetapi epitaf demokrasi yang makin membusuk—prasasti atas cita-cita yang dihianati oleh para pengembannya sendiri.Dua dekade lalu, kita pernah percaya bahwa demokrasi adalah pintu menuju bangsa bermartabat. Reformasi menghadirkan pemilu langsung, otonomi daerah, dan lembaga antikorupsi. Kita merayakannya sebagai babak baru yang penuh harapan.Namun kini, euforia itu runtuh seperti cat tembok yang terkelupas di gedung tua: di permukaan tampak kokoh, tetapi rapuh di dalam.Baca juga: OTT Gubernur Riau, Marwah Melayu, dan Jalan Kebudayaan Melawan KorupsiSetiap OTT hari ini tidak lagi memunculkan gegap gempita, melainkan kelelahan kolektif. Kita seperti penonton yang dipaksa menonton film lama dengan akhir yang selalu serupa: pejabat ditangkap, uang sitaan dipamerkan, rompi oranye diperlihatkan, lalu drama hukum berlarut-larut hingga publik lupa.Sementara itu, akar penyakitnya tak pernah dicabut. Demokrasi yang dulu ditopang semangat perubahan, kini terjebak di rawa korupsi yang dalam. Dan kita berdiri di tepi, nyaris tanpa daya.Kita terlalu sering berharap pada orang yang salah. Para pemimpin datang ke panggung politik dengan narasi pengabdian, tetapi begitu menduduki kursi kekuasaan, mereka berubah menjadi pedagang: membarter jabatan, menjual proyek, merampok kepercayaan.Inilah wajah banalitas korupsi: kejahatan yang dilakukan bukan dengan kemarahan, tetapi dengan rutinitas. Tidak ada rasa bersalah, hanya kalkulasi keuntungan.Kekuasaan bukan lagi sarana pengabdian publik, tetapi komoditas yang diperebutkan melalui pilkada mahal, kampanye transaksional, dan jaringan patronase.Jangan salahkan rakyat; mereka hanya memilih dari daftar nama yang disodorkan. Yang patut dipertanyakan adalah sistem rekrutmen politik—partai yang meloloskan kader bermasalah, elite yang menutup mata atas integritas, dan oligarki uang yang mengatur siapa naik, siapa tenggelam.Demokrasi berubah menjadi bazar besar kekuasaan. Tiket masuknya bukan gagasan, melainkan modal. Bukan komitmen moral, tetapi koneksi.Setiap OTT seharusnya menjadi simbol negara bekerja menegakkan hukum. Namun mari jujur: kita semakin meragukan efektivitas penindakan yang bersifat reaktif dan personal.