SETIAP hari,musician kita melihat lembaga-lembaga yang tampak hidup—berkegiatan, berpidato, berfoto, melapor—namun terasa seperti kehilangan ruhnya. Sekolah tetap berdiri megah, tapi guru dan murid sering kehilangan semangat belajar. Partai politik masih menggelar rapat dan kampanye, tapi rakyat kian sulit percaya bahwa politik bisa menumbuhkan harapan.Kantor pelayanan publik penuh aktivitas, tetapi warga pulang dengan wajah lelah karena birokrasi lebih sibuk mengurus prosedur daripada manusia. Apakah ini tanda bahwa lembaga-lembaga kita hidup hanya secara fisik, tetapi mati secara maknawi dan dampak eksistensinya?Zygmunt Bauman, filsuf sosiolog asal Polandia-Inggris, menyebut fenomena ini sebagai “zombifikasi” masyarakat modern—dunia yang diisi oleh “zombie categories” dan “zombie institutions.” Dunia yang tampak bergerak, tetapi sejatinya membeku; yang tampak produktif, tetapi kehilangan arah moral dan makna sosialnya (Liquid modernity, 2000).Istilah “zombie institutions” merujuk pada lembaga yang secara formal masih berdiri, namun fungsi aslinya telah mati. Bauman menyebutnya sebagai warisan dari modernitas padat (awal)—masa ketika struktur sosial stabil dan identitas manusia tetap. Kini, dalam modernitas cair, lembaga-lembaga itu kehilangan makna karena tidak lagi menyesuaikan diri dengan realitas yang berubah cepat (Ibid).Kita bisa melihatnya di Indonesia dengan mudah. Sekolah, misalnya, secara fisik masih beroperasi, tetapi sering kehilangan ruh pendidikan sejati. Banyak sekolah lebih sibuk mengejar akreditasi, ranking, dan administrasi, ketimbang menumbuhkan kemanusiaan dan daya kritis peserta didik. Nilai moral, dialog, dan empati tergantikan oleh target ujian dan laporan daring. Sekolah tetap “hidup” secara kelembagaan, tetapi sudah menjadi “zombie education”—berjalan tanpa roh kebijaksanaan.Demikian pula partai politik. Secara hukum, partai menjadi pilar demokrasi, tetapi dalam praktik, ia lebih sering berfungsi sebagai kendaraan kekuasaan pribadi. Perekrutan politik berbasis loyalitas, bukan ideologi; kampanye dilakukan lewat buzzer dan citra, bukan gagasan. Partai tetap hidup secara administratif—ada kongres, rapat, bendera, dan slogan—namun kehilangan visi moral untuk membentuk warga negara yang matang. Ia menjadi zombie institution: tubuh ada, jiwa hilang.Baca juga: Sidang Tahunan MPR: Ritual yang Kehilangan RuhNamun, tidak semua pemikir melihat kondisi modernitas dengan nada pesimis seperti Bauman. Anthony Giddens, sosiolog Inggris sejaman dengan Bauman, menawarkan pandangan lebih optimistis melalui teori strukturasi. Menurutnya, struktur sosial tidak sepenuhnya membelenggu manusia; ia justru diciptakan dan direproduksi melalui tindakan reflektif manusia itu sendiri (The Constitution of Society, 1984).Artinya, lembaga apa pun—sekolah, partai, birokrasi—masih bisa diperbarui dari dalam, asalkan para pelaku di dalamnya berani bertindak reflektif dan sadar akan perannya. Dalam bahasa Giddens, masyarakat bukanlah sesuatu yang berada di luar manusia; ia ada dalam tindakan manusia itu sendiri. Perbedaan inilah yang penting bagi Indonesia.Jika Bauman mengingatkan kita agar waspada terhadap “tatanan yang membatu,” Giddens mengajak kita memercayai potensi manusia untuk menghidupkan kembali tatanan itu. Ketika seorang guru mengajar dengan hati, seorang birokrat memilih melayani dengan empati, atau seorang politisi berbicara dengan kejujuran, sesungguhnya mereka sedang menulis ulang struktur sosial dari bawah. Mereka menjadi “antibodi” dalam tubuh lembaga yang nyaris membusuk.Baca juga: Lembaga Fobia TawaDalam sistem pemerintahan, tanda-tanda “zombifikasi” juga tampak jelas. Birokrasi publik, yang semestinya menjadi mesin pelayanan rakyat, kadang justru melayani prosedur itu sendiri. Dokumen, aplikasi, dan aturan berganti rupa, namun sering tidak mempermudah masyarakat.Digitalisasi yang mestinya membebaskan warga justru menambah jarak: rakyat diminta mengunggah berkas demi berkas, sementara empati pejabat tak lagi tampak. Di satu sisi, lembaga tetap aktif—ada rapat, laporan, dan kegiatan seremonial—tetapi di sisi lain, esensi pelayanan publik perlahan hilang.Dalam istilah Bauman, struktur tetap berdiri, tetapi kehangatan manusiawi telah menguap (Liquid Life, 2005). Contoh lain, lembaga keagamaan yang seharusnya menjadi penjaga nurani sosial, terkadang larut dalam logika proyek dan status. Kegiatan keagamaan berubah menjadi kegiatan administratif; pelayanan rohani menjadi pelaksanaan program. Lembaga tetap hidup, tetapi sering kehilangan getar spiritualitas dan kepekaan pada penderitaan umat.Selain lembaga, Bauman juga mengkritik “zombie categories”—istilah atau konsep sosial yang masih kita pakai, padahal realitasnya sudah berubah. Di Indonesia, misalnya, kita masih sering menggunakan istilah “rakyat kecil”, seolah ada pembagian tegas antara si miskin dan si kaya, antara penguasa dan rakyat jelata. Padahal, di era digital, batas itu semakin cair: influencer bisa lebih berpengaruh daripada pejabat; pegawai negeri bisa terjebak utang konsumtif meski bergaji tetap; sementara “orang kecil” justru menjadi penggerak ekonomi kreatif.Demikian pula istilah “pelajar teladan” atau “anak berprestasi.” Dulu kategori ini jelas: nilai tinggi, disiplin, patuh. Kini, dalam dunia cair, banyak remaja kreatif dan cerdas di luar sistem sekolah formal. Namun, karena kategori lama tetap dipertahankan, mereka yang tidak sesuai definisi itu dianggap gagal, meski sebenarnya justru menjadi simbol generasi baru yang otonom dan kreatif.Bauman tidak meminta kita membongkar semua institusi, tetapi menghidupkannya kembali dari dalam. Ia mendorong refleksi: bagaimana memberi makna baru pada struktur lama? Bagaimana menghadirkan kembali roh kemanusiaan dalam sistem yang kaku?Dalam konteks ini, pemikiran Bauman dan Giddens justru saling melengkapi: Bauman menyalakan alarm moral, sementara Giddens menawarkan jalan rekonstruksi sosial. Kita perlu keduanya—kesadaran akan bahaya “kebekuan,” sekaligus keyakinan bahwa kebebasan manusia mampu mencairkan kembali sistem yang beku.Di Indonesia, ini berarti mengembalikan sekolah menjadi ruang pembentukan manusia, bukan pabrik nilai atau ijazah. Mengembalikan partai politik menjadi arena gagasan, bukan sekadar mesin elektoral. Mengembalikan birokrasi menjadi rumah bagi pelayanan publik yang berempati.Menghidupkan lembaga berarti mengembalikan etos kebebasan dan tanggung jawab manusia. Sebab, seperti diingatkan Bauman, “rigidity of order is the artefact and sediment of the human agents’ freedom” — kekakuan tatanan hanyalah endapan dari kebebasan manusia yang berhenti bergerak (Liquid Modernity, 2000). Jika manusia berhenti mencipta makna, lembaga akan berubah menjadi kuburan makna.Akhirnya, tugas kita sebagai warga negara dan pelayan publik adalah mencegah lembaga-lembaga itu menjadi zombie sepenuhnya dan menjadikannya lembaga bermakna. Selama kita masih berani berpikir, merasa, dan memperbarui niat baik, setiap institusi bisa dihidupkan kembali—bukan sekadar berjalan di atas kertas, tetapi berdenyut di hati manusia.Baca juga: Kuasa Tanpa Nilai, Negara Tanpa Jiwa