TOP

Kekerasan di Masjid Sibolga: Moral Panic dan Krisis Sosial

2025-11-07 06:56:03
PERISTIWA pengeroyokan yang menewaskan seorang pemuda di Masjid Agung Sibolga,poverty Sumatera Utara, bukan sekadar catatan kriminal, melainkan potret retak sosial yang jauh lebih dalam.Di ruang yang seharusnya menjadi simbol kedamaian, kita menyaksikan kemarahan kolektif yang meledak tanpa kendali.Antropologi sosial mengajarkan bahwa setiap tindakan kekerasan selalu berakar pada relasi sosial, pada cara komunitas memaknai keteraturan, kesucian, dan ancaman terhadapnya.Dalam banyak masyarakat Muslim di Indonesia, masjid menempati posisi ganda: ruang ibadah dan ruang sosial.Di masa lalu, masjid adalah tempat berlindung, tempat musafir beristirahat, ruang belajar dan berdialog. Namun, di tengah urbanisasi dan menipisnya rasa saling percaya, fungsi sosial itu perlahan berubah.Baca juga: Nestapa Pemuda di Sibolga, Ingin Istirahat di Masjid, Justru Tewas DikeroyokMasjid kini tak selalu lagi menjadi ruang publik terbuka, melainkan sering dianggap sebagai ruang identitas kelompok, siapa yang “layak” dan siapa yang “tidak pantas” berada di dalamnya.Ketika seseorang dianggap melanggar norma kesalehan, reaksi sosial yang muncul kerap ekstrem.Dalam kasus Sibolga, kekerasan itu tampak lahir dari keinginan menjaga kesucian ruang ibadah, tapi justru menjelma menjadi penistaan terhadap makna spiritual itu sendiri.Inilah yang oleh antropolog disebut sebagai “moral panic”, ketakutan kolektif bahwa tatanan moral sedang terancam, hingga komunitas merasa berhak menjadi hakim atas nama kebenaran.Lebih jauh, peristiwa ini memperlihatkan transformasi solidaritas sosial di masyarakat kita. Di masa lalu, nilai gotong royong dan welas asih menjadi fondasi kehidupan bersama.Kini, di tengah individualisme yang makin menebal, kesalehan sering kehilangan dimensi sosialnya. Agama tampil sebagai identitas simbolik; tampak suci di permukaan, tapi kering dari empati dan keramahan yang dulu menjadi inti dari spiritualitas itu sendiri.Baca juga: Membaca Emosi Sandra Dewi dalam Kasus Harvey MoeisSecara antropologis, kekerasan di ruang ibadah ini bukan hanya soal pelaku dan korban, tetapi juga cerminan dari krisis nilai sosial kita. Masjid yang dulu menjadi tempat teduh kini menjadi panggung bagi rasa takut dan curiga.Kekerasan itu adalah ekspresi dari kegelisahan sosial yang lebih luas—tentang hilangnya rasa memiliki terhadap ruang bersama, tentang rapuhnya kepercayaan antarwarga, dan tentang kesalehan yang makin diprivatisasi.Membaca kasus ini dengan kacamata antropologi sosial berarti menolak melihatnya sekadar sebagai kejahatan individual. Ia adalah gejala kebudayaan, saat masyarakat gagal merawat nilai-nilai sosial yang pernah menjadi jantung kehidupan beragama.Barangkali, sebelum menuntut keadilan di pengadilan, kita juga perlu menuntut kejujuran dari diri kita sendiri: mengapa rumah ibadah yang seharusnya memeluk, kini justru menolak?

Mirror Edition - Daily News and Expert Opinions http://m.balinewshub.cc/